Batik solo merupakan salah satu warisan budaya agung nenek moyang yang
keberadaannya masih terus lestari hingga kini. Salah satu tempat yang menjadi
akar pertumbuhan batik nusantara adalah Kota Solo yang juga pernah menjadi
ibukota Keraton Surakarta Hadiningrat. Guna lebih memperkenalkan Solo sebagai
Kota Batik di mata Indonesia maupun dunia, sejak tahun 2008 digelar lah sebuah
perhelatan akbar bertajuk Solo Batik Carnival (SBC). Gelaran tahunan ini
diselenggarakan oleh Solo Center Point Foundation dan Pemerintah Kota
Surakarta.
Solo Batik Carnival adalah karnaval berbasis masyarakat yang dirancang untuk
menjadi sebuah karnaval tingkat dunia. Awalnya, karnaval ini terinspirasi dari
Jember Fashion Carnaval (JFC), sebuah parade peragaan busana di jalanan. Karena
itu tak heran jika konsep keduanya hampir sama. Hanya saja yang membedakan
adalah dalam bahan utama pembuatan kostum. Sesuai dengan namanya Solo Batik
Carnival, batik dijadikan sebagai sumber ide sekaligus materi utama penciptaan
kostum karnaval yang fantastis. Sebelum mengikuti karnaval, setiap peserta
diwajibkan mengikuti workshop merancang kostum selama berbulan-bulan. Kostum
karnaval yang dirancang kemudian dipakai sendiri oleh para peserta dalam puncak
acara Solo Batik Carnival yang berlangsung di sepanjang Jalan Slamet Riyadi
hingga Kantor Balai Kota Solo.
Pada awal pelaksanaannya, Solo Batik Carnival selalu dilakukan pada siang
hari. Namun mulai tahun ke-4 Solo Batik Carnival dilaksanakan pada malam hari.
Kostum berbahan utama batik yang mewah dan megah serta sorotan lampu
warna-warni menjadikan gelaran Solo Batik Carnival semakin istimewa. Tak heran
jika ribuan penonton berdatangan dari berbagai tempat dan memadati jalan yang
dijadikan sebagai lokasi parade. Tanggal pelaksanaan Solo Batik Carnival selalu
berganti tiap tahunnya, namun mulai tahun 2009 Solo Batik Carnival selalu
dilaksanakan pada bulan Juni.
Setiap tahunnya, Solo Batik Carnival mengusung tema yang berbeda mulai dari
"Topeng", "Sekar Jagad", hingga "Keajaiban
Legenda". Tema-tema tersebut kemudian diterjemahkan melalui kostum
rancangan peserta yang unik dan kreatif. Corak batik klasik dipadukan dengan
batik kontemporer dan dihiasi dengan manik-manik serta mahkota menjadikan
kostum makin semarak. Tak heran jika saat mengikuti Chingay Festival di
Singapura, delegasi Solo Batik Carnival mendapat apresiasi meriah dari
penonton. Saat ini Solo Batik Carnival terus berbenah diri guna menjadi salah
satu karnaval yang diperhitungkan di kancah internasional.
Ruas Jalan Slamet Riyadi Solo sepanjang lebih dari tiga kilometer menjadi
semacam catwalk panjang, Sabtu 29 Juni 2013. Sekitar 150 orang berkostum Solo
Batik Carnival berlenggok memamerkan pakaiannya.
Gelaran Solo Batik Carnival saat ini merupakan kali keenam diselenggarakan. Mereka membawa tema besar Earth to Earth dengan membagi kostum menjadi empat jenis yang mewakili unsur api, udara, air dan tanah.
Tentu saja, batik warna merah mendominasi kelompok kostum unsur api. Para peserta menghias pakaiannya dengan pernik-pernik yang menggambarkan nyala api. Mereka juga mencorengi wajahnya sehingga tampil garang, meski selalu menyimpulkan senyum saat penonton membidikkan kamera.
Gelaran Solo Batik Carnival saat ini merupakan kali keenam diselenggarakan. Mereka membawa tema besar Earth to Earth dengan membagi kostum menjadi empat jenis yang mewakili unsur api, udara, air dan tanah.
Tentu saja, batik warna merah mendominasi kelompok kostum unsur api. Para peserta menghias pakaiannya dengan pernik-pernik yang menggambarkan nyala api. Mereka juga mencorengi wajahnya sehingga tampil garang, meski selalu menyimpulkan senyum saat penonton membidikkan kamera.
Sedangkan kostum dengan warna biru lagit digunakan oleh kelompok penampil kostum udara. Pakaian itu dihias dengan sayap warna putih dan berbentuk bulat untuk menggambarkan awan. Rias wajah para penampil juga dibuat lebih lembut.
Sedangkan kelompok penyaji kostum air sepintas susah dibedakan dengan kostum langit. Mereka juga menggunakan kostum warna putih. Karakter air muncul dari pernik sayap yang digunakan yang cenderung berbentuk tetesan air.
Warna batik paling khas terlihat pada kelompok tanah. Mereka menggunakan batik yang didominasi warna-warna gelap. Batik jenis tersebut juga menjadi ciri khas batik asal Solo. Biasanya, batik dengan warna gelap sering disebut dengan batik soga.
Kostum warna warni dalam Solo Batik Carnival itu dirancang oleh para peserta dalam waktu kurang dari tiga bulan. "Butuh 15 kali workshop untuk membuat kostum sesuai tema," kata Ketua Solo Batik Carnival, Ichwan Hidayat.
Hanya saja, antusias masyarakat dalam menyaksikan karnaval ini terlihat menurun drastis dibanding lima pergelaran sebelumnya. Jika biasanya penonton SBC selalu membludak, kali ini terlihat sangat longgar. Sejumlah kalangan menilai kegiatan tersebut kurang dipromosikan.
Salah satu anggota Badan Promosi Pariwisata Indonesia Surakarta, Bambang Ary menyebut bahwa sebenarnya Solo Batik Carnival telah menjadi salah satu ikon Solo. "Sayang sekali tahun ini penyelenggaraannya kurang maksimal," katanya. Sepinya penonton menurutnya menjadi salah satu indikator yang paling terlihat.
Presiden Jember Fashion Carnaval, Dynand Fariz menyebut bahwa Solo Batik Carnival sebenarnya memiliki peluang besar untuk menarik wisatawan. "Kota Solo memiliki berbagai fasilitas penunjang yang jauh lebih lengkap dibanding Jember," katanya. sumber: tempo.co