Minggu, 23 Desember 2012

motif dan corak batik

Motif/corak batik Kraton Surakarta tercipta karena ada maksud dan pesan yang filosofis serta makna ajaran atau tuntunan dan juga menjadi ciri dari golongan strata atau kedudukan sosial masyarakat yang menggunakannya. Sebagai contohnya batik Parang dan Lereng, batik
Parang dan Lereng ini bagi Kraton Surakarta sebagai ageman luhur, artinya hanya dipakai oleh Agemandalem Sinuhun dan Putra Sentana Dalem, bagi abdidalem menjadi larangan. Ada yang berpendapat bahwa nama “parang” diidentikkan dengan sebuah senjata tajam yang berupa
parang atau sejenis pedang. Pengertian ini disebut “wantah” dalam mengartikan sebuah kata. Berdasarkan pertimbangan data, kata “parang” perubahan dari kata “pereng” atau pinggiran suatu tebing yang berbentuk “lereng”. Seperti dari dataran tinggi ke dataran rendah yang berwujud diagonal. Mengambil dasar gambaran tebing di pesisir pantai selatan pulau Jawa yang diberi nama Paranggupito, Parangkusuma, Parangtritis, dan lain-lain.
Menurut Kraton Surakarta, batik jenis parangan dan lereng hanya dipakai oleh para sentana kerabat raja saja. Hal ini sudah secara turun temurun seperti bentuknya yang miring diagonal dari atas ke bawah. Hal ini melambangkan garis keturunan Mataram, di mana Panembahan
Senopati sebagai pendirinya. Karena itu batik “Parang” atau “Lereng” ini dianggap sebagai ageman luhur, artinya orang yang mempunyai garis keturunan raja-raja Mataram saja yang boleh mengenakannya.
Menurut kepercayaan ada yang beranggapan bahwa dalam membuat batik parang tidak boleh melakukan kesalahan atau harus sekali jadi.
“Ada beberapa jenis kain bathik yang menjadi larangan saya, bathik lar, bathik parang dan bathik cemukiran yang berujung seperti paruh burung podang, bangun tulak lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga bathik cemukiran yang berbentuk ujung lung (daun tumbuhan
yang menjalar di tanah), yang saya ijinkan memakai adalah Patih dan para Kerabat saya. Sedangkan para kawula tidak di perkenankan”.
Kebijakan inilah Bathik Surakarta mulai jadi tatanan berbusana di dalam kehidupan masyarakat jawa, khususnya di bumi Mataram Surakarta Hadiningrat atau yang sekarang dikenal dengan sebutan kota Surakarta/Solo. Dengan kata lain Perluasan pemakaian batik di luar
kraton menyebabkan pihak Kraton Surakarta membuat ketentuan mengenai pemakaian pola batik. Ketentuan tersebut di antaranya mengatur sejumlah pola yang hanya boleh dikenakan oleh raja dan keluarga istana. Pola yang hanya boleh dikenakan oleh keluarga istana ini
disebut sebagai ”pola larangan”. Semua pola ”Parang”, terutama Parang Rusak Barong, Cemukiran, dan Udan Liris, serta berbagai ”semen” yang menggunakan ”sawat ageng” merupakan pola larangan Kraton Surakarta. Diungkapkan sebelumnya bahwa di dalam batik Surakarta terkandung makna-makna filosofis. Makna filosofis tersebut terkandung di dalam perpaduan warna maupun corak batik itu sendiri. Di dalam perpaduan batik Surakarta selain mengandung makna filosofis juga mempunyai sebutan tersendiri untuk masing-masing perpaduan