Motif/corak batik Kraton Surakarta
tercipta karena ada maksud dan pesan yang filosofis serta makna
ajaran atau tuntunan dan juga menjadi ciri dari golongan strata atau
kedudukan sosial masyarakat yang menggunakannya. Sebagai contohnya
batik Parang dan Lereng, batik
Parang dan Lereng ini bagi Kraton
Surakarta sebagai ageman luhur, artinya hanya dipakai oleh Agemandalem
Sinuhun dan Putra Sentana Dalem, bagi abdidalem menjadi
larangan. Ada yang berpendapat bahwa nama “parang” diidentikkan dengan
sebuah senjata tajam yang berupa
parang atau sejenis pedang. Pengertian
ini disebut “wantah” dalam mengartikan sebuah kata. Berdasarkan
pertimbangan data, kata “parang” perubahan dari kata “pereng” atau
pinggiran suatu tebing yang berbentuk “lereng”. Seperti dari dataran tinggi
ke dataran rendah yang berwujud diagonal. Mengambil dasar gambaran
tebing di pesisir pantai selatan pulau Jawa yang diberi nama
Paranggupito, Parangkusuma, Parangtritis, dan lain-lain.
Menurut Kraton Surakarta, batik jenis
parangan dan lereng hanya dipakai oleh para sentana kerabat raja
saja. Hal ini sudah secara turun temurun seperti bentuknya yang miring
diagonal dari atas ke bawah. Hal ini melambangkan garis keturunan
Mataram, di mana Panembahan
Senopati sebagai pendirinya. Karena
itu batik “Parang” atau “Lereng” ini dianggap sebagai ageman luhur, artinya
orang yang mempunyai garis keturunan raja-raja Mataram saja yang
boleh mengenakannya.
Menurut kepercayaan ada yang
beranggapan bahwa dalam membuat batik parang tidak boleh
melakukan kesalahan atau harus sekali jadi.
“Ada beberapa jenis kain bathik yang
menjadi larangan saya, bathik lar, bathik parang dan
bathik cemukiran yang berujung seperti paruh burung podang, bangun tulak
lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga bathik cemukiran yang
berbentuk ujung lung (daun tumbuhan
yang menjalar di tanah), yang saya
ijinkan memakai adalah Patih dan para Kerabat saya. Sedangkan para
kawula tidak di perkenankan”.
Kebijakan inilah Bathik Surakarta mulai
jadi tatanan berbusana di dalam kehidupan masyarakat jawa,
khususnya di bumi Mataram Surakarta Hadiningrat atau yang sekarang dikenal
dengan sebutan kota Surakarta/Solo. Dengan kata lain
Perluasan pemakaian batik di luar
kraton menyebabkan pihak Kraton
Surakarta membuat ketentuan mengenai pemakaian pola batik.
Ketentuan tersebut di antaranya mengatur sejumlah pola yang hanya
boleh dikenakan oleh raja dan keluarga istana. Pola yang hanya boleh
dikenakan oleh keluarga istana ini
disebut sebagai ”pola larangan”. Semua
pola ”Parang”, terutama Parang Rusak Barong, Cemukiran, dan Udan
Liris, serta berbagai ”semen” yang menggunakan ”sawat ageng” merupakan
pola larangan Kraton Surakarta. Diungkapkan sebelumnya bahwa di dalam
batik Surakarta terkandung makna-makna filosofis.
Makna filosofis tersebut terkandung di dalam perpaduan warna maupun corak
batik itu sendiri. Di dalam perpaduan batik Surakarta selain
mengandung makna filosofis juga mempunyai sebutan tersendiri untuk masing-masing
perpaduan